Bila Anda ingin membaca tentang seseorang di dalam Alkitab yang “mengakhiri pertandingan dengan baik,” rasul Paulus adalah contohnya. Meski latar belakangnya adalah sebagai agamawan fanatik yang suka membunuh dan menganiaya jemaat mula-mula, Paulus mengalami pertobatan dramatis yang benar-benar mengubahkan jalan hidupnya bahkan mengubahkan dunia selamanya. Namun bagaimana dengan orang-orang yang berada dalam situasi yang berlawanan dengan situasi Paulus, yaitu mereka yang permulaannya tampak baik namun jatuh di tengah jalan di dalam perlombaan iman mereka, tidak sanggup mencapai garis akhir?
Sungguh menyedihkan bahwa dunia modern lebih suka menaruh perhatian terhadap orang-orang yang gagal ini daripada mereka yang berhasil. Bad news is good news, mereka bilang. Jarang sekali surat kabar atau majalah menyoroti kemenangan iman seseorang, atau berita petang di TV membuat tayangan khusus tentang seseorang yang berhasil mencapai garis akhir. Sebaliknya, kita rela membayar dengan uang kita demi mendengar obrolan sampah tentang seseorang yang kehilangan karir, gagal dalam pernikahan, atau menjadi pecandu narkoba, betul begitu?
SEBUAH CONTOH ALKITAB
Bila Paulus menunjukkan akhir yang baik meskipun permulaannya sangat buruk, tidak demikian halnya dengan raja Salomo, ia justru memulai dengan sangat baik namun mengakhirinya dengan tragedi. Sebagai putra dari raja Israel yang terbesar, Salomo memiliki segalanya kekayaan yang berlimpah, ambisi yang besar, hikmat khusus yang ditanamkan Allah, serta kebaikan-Nya. Namun tetap saja orang yang paling bijaksana dari yang pernah ada di seluruh dunia ini mengabaikan semua anugerah itu. Apa yang salah?
Dua bacaan berikut ini satu tentang masa awal pemerintahannya, dan satu lagi menjelang akhir pemerintahannya menyingkapkan penyebab kegagalan di dalam kehidupan Salomo. Di dalam I Raja-raja 3:3, tepat sebelum Salomo meminta hikmat dari Allah, kita membaca sekilas tentang sifat pemberontakan dan ketidakpuasan yang pada akhirnya menghancurkan kerajaannya: “Dan Salomo menunjukkan kasihnya kepada TUHAN dengan hidup menurut ketetapan-ketetapan Daud, ayahnya; hanya, ia masih mempersembahkan korban sembelihan dan ukupan di bukit-bukit pengorbanan.” Di sinilah kita tahu penyebabnya, yaitu dari kata “hanya”.
Sementara Salomo menyembah Allah, ia masih sempat melanggar aturan. Bahkan aturan yang dilanggarnya itu menyangkut masalah yang paling prinsipil, siapakah sebenarnya yang ia sembah? Siapakah yang menurutnya layak menerima penghormatan? Salomo memang mengasihi Allah, namun ia juga masih menyimpan sifat pemberontakan. Ia melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Allah, kecuali…'
Nah, apakah Anda juga melakukan hal yang serupa? Adakah “pengecualian” di dalam ketaatan Anda kepada Tuhan?
BERBELOK KE ARAH YANG SALAH
Sepuluh pasal pertama dari I Raja-raja menceritakan tentang keberhasilan serta prestasi-prestasi Salomo sebagai raja. Kerajaannya semakin maju. Namun dengan satu kata saja, kerajaaan yang mashyur itu pun hancur berantakan. Kata itu terdapat di dalam pembukaan pasal 11: “Tetapi raja Salomo…” (terjemahan dari bahasa Inggris, red). Dari situlah, kehidupan Salomo dan kerajaannya mulai meluncur tak terkendali, yaitu ketika Allah menghakimi anak-Nya yang bijak ini oleh karena kesia-siaan yang bodoh yang ditunjukkannya.
Pasal 11 menjelaskan bagaimana salah satu kelemahan Salomo, yakni bahwa ia tertarik kepada banyak perempuan, memberi andil besar terhadap kehancuran hidupnya. Sang raja tampaknya tak dapat menahan hawa nafsunya. Ia menikahi ratusan perempuan asing, dan setiap perempuan yang dijadikannya sebagai isteri pasti membawa dewa atau sesembahan baru ke dalam rumahnya dan juga hatinya.
Akibatnya, Allah bersumpah untuk menyingkirkan keluarga Salomo dari kerajaan (I Raja-raja 11:9-13).
BENAR-BENAR SIA-SIA
Sungguh mudah untuk membayangkan kehidupan Salomo tua dari tulisannya yaitu kitab Pengkotbah. Di kitab itu ia masih menunjukkan hikmatnya yang terkenal, ke dalam kata-kata nasihat dan peringatan. Saya ingin menangis rasanya membaca tulisan sang raja yang sudah renta ini, “Kesia-siaan belaka!…' kesia-siaan belaka! segala sesuatu adalah sia-sia” (Pengkotbah 1:2).
Sesudah segala sesuatu yang dicapainya masa-masa damai, pembangunan bait Allah yang agung dan megah, perluasan wilayah kerajaan. Salomo akhirnya sadar bahwa ia telah menyia-nyiakan semua sukses yang pernah diraihnya. Ia menukar kemenangan-kemenangannya dengan berhala, menyerah kepada hawa nafsu yang tak pernah terpuaskan berupa “banyak perempuan asing” dan bukannya puas menikmati siraman kasih Allah (I Raja-raja 11:1).
CAHAYA YANG TERPENCAR
Namun, dengan inspirasi dari Allah yang penuh anugerah itu, Salomo memperoleh kembali hikmat menjelang akhir kehidupannya. Menutup kitab Pengkotbah dengan kata-kata terakhinya, anak Daud ini menemukan kembali kebenaran dalam kehidupan: “Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang” (Pengkotbah 12:13).
Apakah Salomo mencapai garis akhir dengan gemilang? Tidak, bahkan sangat buruk. Setelah melewati 40 tahun masa pemerintahan yang penuh damai karena disertai oleh Allah, masa sesudah kematiannya menjadi mimpi buruk bagi bangsa Israel, karena kerajaan itu akhirnya terpecah belah dan rakyatnya tercerai-berai.
HIKMAT DARI KEGAGALAN
Apa yang dapat kita pelajari dari Salomo? Pesan apa yang dapat dibagikan oleh orang yang paling bijaksana itu bagi kita di zaman ini?
Pertama, Salomo mengingatkan kita untuk melawan keangkuhan di tengah keberhasilan kita. Sang raja bertanggung jawab dalam memerintah kerajaan Israel. Dan selama kurun waktu 40 tahun pemerintahannya, Salomo berhasil memimpin rakyatnya kepada kehormatan, martabat dan kekayaan yang tiada taranya. Allah memberkati Salomo di setiap sisi, namun kemudian menunjukkan kepadanya betapa cepat dan dramatisnya berkat-berkat-Nya itu dapat Dia tarik kembali.
Kedua, Salomo secara dramatis menunjukkan apa yang saya sebut sebagai “lereng licin” kerusakan moral. Sang raja yang bijak ini tidak pernah bermaksud dengan sepenuh kesadarannya untuk melanggar Allah, namun di dalam I Raja-raja 11, ia membuat serangkaian keputusan yang melenceng, yang pada akhirnya merobek-robek kerajaannya sendiri dan juga kehidupannya.
Demikian juga kita, bila kita melakukan pelanggaran sekecil apapun tampaknya pasti akan membawa kita semakin menjauh dari Allah. Kita melakukan kompromi, atau “berbohong demi kebaikan” dan tiba-tiba keseluruhan karakter kita berubah. Pada akhirnya, efek gabungan dari kelonggaran sedikit demi sedikit yang kita biarkan ini akan menghancurkan kehidupan iman yang selama ini mungkin terus kita perjuangkan. Akhirnya, Salomo menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada seorang pun yang kebal terhadap konsekuensi tragis dari keputusan-keputusan salah yang dibuatnya. .
Akhirilah kehidupan Anda dengan baik. Setiap keputusan yang Anda ambil, persembahkanlah kepada Tuhan, dan izinkanlah Dia menuntun Anda sehingga Anda dapat sampai ke garis akhir dengan aman dan selamat. Pelajaran inilah yang diwariskan oleh Salomo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar