Seorang sahabat berkunjung ke kantor kami dan seperti biasa dia akan menggerakkan tangannya seakan sedang memegang sebuah gelas dan meminum sesuatu. Dia berharap agar setiap orang yang melihat gerakannya akan mengerti dan segera membuatkan segelas kopi kesukaannya. Aku berpikir, bagaimana dia akan bereaksi jika aku menyodorkan sebuah gelas kosong lengkap dengan penutupnya kehadapannya? Mungkin dia akan tersinggung dan marah, mungkin dia akan tertawa dan bertanya : "Kalian kehabisan kopi ya?" atau dia dapat mengambil gelas itu dan mengisinya dengan apa yang dia sukai, sebanyak yang diinginkannya. Jika aku adalah dia, bagaimana aku akan bereaksi?
Aku tak tahu bagaimana orang lain memandang hidupnya dan aku tidak terlalu peduli untuk memikirkan bagaimana aku sendiri memandang hidup ini. Segalanya seperti air yang mengalir. Kadang air itu bersih dan menyegarkan, kadang air itu berlumpur. Aku tidak yakin kemana air - air itu akan mengalir dan bermuara. Tak ada satu tujuan yang pasti. Sampai ide tentang gelas kosong ini datang.
Aku baru menyadari ... Setiap pagi ada sebuah gelas kosong yang dikirimkan oleh sahabat lamaku dan aku akan menemukannya tergeletak dalam bungkusan berwarna putih di depan pintu rumahku.
Suatu pagi aku membuka bungkusan sama yang selalu dipakai oleh sahabatku untuk membungkus 'gelas kosong' dan berharap aku menemukan sebuah gelas kristal yang lebih indah dan bagus dari gelas yang kemarin. Tapi aku malah menemukan sebuah gelas yang sedikit pecah dan sangat jelek. Aku kecewa sekali. Aku tak ingin menggunakan gelas itu dan aku tak akan menuangkan anggur atau apapun ke dalam gelas itu.
Mungkin hanya dengan sedikit air putih jika aku tak dapat lagi menahan rasa hausku. Aku ingin hari itu cepat berlalu. Aku membiarkan gelas 'buruk rupa' itu tetap kosong di pojok meja yang sengaja kupindahkan agar jauh dari penglihatanku. Aku berharap sebuah gelas kristal akan kuterima dari sahabatku keesokan hari ... ...
Tiga hari ... Hanya sedikit air putih untuk menghilangkan dahaga.
Tiga bulan ... Lebih banyak air putih untuk memuaskan dahaga.
Dan ... enam tahun-delapan belas hari, Sekali lagi, aku baru menyadari ... Selama ini, aku selalu menyalahkan gelasnya. Aku tidak berani mencoba mengisi gelas kosong yang buruk rupa itu dengan anggur manis dan madu segar. Atau aku terlalu angkuh?
Aku meraih gelas kosong itu dan menatapnya sesaat. Aku menuang sedikit anggur manis dan mencicipinya dengan ragu - ragu ...
Aku terdiam dan berpikir, mengapa rasanya seperti ini? Sama sekali tidak berbeda dengan apa yang aku rasakan ketika aku menggunakan gelas kristal.
"Astaga! Lidahku pasti sudah kelu."
Selama enam tahun lebih aku tidak mencicipi anggur manis. Mungkin aku sudah lupa pada rasanya ...
Tiga hari ... Hanya sedikit anggur manis untuk melatih kembali kepekaan lidahku pada berbagai jenis anggur.
Tiga bulan ... Lebih banyak anggur untuk memuaskan perasaanku yang masih aneh kurasakan.
Lima bulan ... Aku terpana menatap gelas kosong yang buruk rupa itu ketika aku sedang menggunakannya. Aku lupa jika gelas yang aku pakai bukan gelas kristal yang indah. Tapi perasaanku lebih bahagia saat ini, ketika gelas 'buruk rupa' ini kupenuhi dengan anggur.
Ternyata bukan gelasnya yang salah tapi isinya.
Sesekali, jika aku merindukan rasa air putih yang pernah menemaniku, maka aku akan mengisi gelas kosongku dengan air Putih.
Gelas kosong : kehidupan setiap hari
Anggur/madu : perbuatan baik, sikap positif, antusiasme, etc.
Air putih : refleksi diri, menemukan diri sendiri dan tujuan hidup.
Kita cenderung bersikap menyalahkan orang lain, menyalahkan kondisi hidup yang kita alami. Tanpa kita sadari, semakin lama kita terpuruk dalam pemikiran dan sikap seperti itu, maka semakin banyak pula waktu dan kesempatan yang kita biarkan 'lewat' dengan sia - sia.
Tuhan tidak menciptakan kita untuk menyesali kondisi hidup kita dan menyalahkan orang lain, tetapi untuk melakukan hal - hal baik dengan apa yang kita miliki saat ini dan di mana pun kita berada. Itu sebabnya, hari in, Ia masih memberikan sebuah Gelas Kosong bagi kita.