Lable

16 Agustus, 2010

TUGAS HUKUM ADAT

  1. Jelaskan pendapat saudara apakah hukum Adat dapat disebut sebagai Hukum yang Hidup atau The Living Law ??


  1. Jelaskan manfaat atau kegunaan dari pembelajaran hukum Adat ??


  1. Apakah hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup atau The Living Law? Menurut saya, YA, hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup atau The Living Law. Karena hukum Adat sendiri merupakan hukum yang lahir karena adanya tuntutan dan kepentingan masyarakat, dan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat itu sendiri.

Menurut Van Vollenhoven, hukum Adat itu lahir kebiasaan masyarakat yang kemudian menjadi Adat kebiasaan yang kemudian Adat tersebut menjadi hukum Adat karena adanya sanksi hukuman apabila tidak melakukan Adat tersebut. Hukum Adat sendiri merupakan cerminan atau representative dari kehendak, jiwa dan semangat masyarakat, yang bersifat responsive dan luwes.

Responsive dan luwes artinya disini, hukum Adat merespon setiap gejalah social yang ada dan terjadi dalam masyarakat, dan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat dimana hukum Adat itu hidup. Sama halnya dengan The Living Law, yang hidup dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, yang dalam perkembangannya tidak terpengaruh oleh kehendak penguasa.


  1. Manfaat dari mempelajari hukum Adat dapat dilihat dari sisi teoritis dan dari sisi Praktis. Manfaat dari sisi teoritis ialah ketika hukum Adat dilihat sebagai ilmu pengetahuan. Manfaat hukum Adat sebagai ilmu adalah berkaitan dengan pendidikan dan penelitian. Manfaat hukum Adat sebagai ilmu pengetahuan, untuk memuaskan keingintahuan mengenai hukum Adat itu apa, bagaimana terbentuknya, untuk siapa hukum Adat itu, dan bagaimana perkembangannya. Hukum Adat mengenai manfaatnya dari sisi teoritis yaitu hanyalah sebagai ilmu yang dapat dipelajari saja, dan belum ada aplikasinya kepada masyarakat. Kemudian, dari sisi praktiknya, kemanfaatan dari mempelajari hukum Adat yaitu ketika hukum Adat itu di menyelesaikan dan menjelaskan masalah – masalah yang terjadi dalam masyarakat, sehingga tujuan dari ilmu untuk masyarakt dapat tercapai.

Manfaat hukum Adat dari sisi praktis ketika ditinjau dari praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hukum Adat dapat memupuk cirri khas, atau keperibadian bangsa yang memberikan identitas yang berbeda dengan bangsa atau Negara lainnya, karena hukum Adat adalam penserminan dari keperibadian bangsa.

Hukum Adat kemudian apabila dikaitkan dengan penyelengaraan Negara, maka hukum Adat dapat menjadi sumber bahan hukum nasional dan sumber hukum bagi hakim ketika hakim mengambil keputusan dalam peradilan ( UU No. 4 tahun 2004, ps. 16 ayat 1 dan ayat 28). Hal itu disebabkan suatu keputusan, atau kaedah hukum positif yang berlaku di suatu Negara, khusunya Indonesia, haruslah bersumber dan mencerminkan jiwa, semangat dan kehendak dari masyarakat Indonesia, agar setiap keputusan atau hukum yang dibuat, dapat diterima dan diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Untuk itulah, perlunya mempelajari hukum Adat.

TENTANG HAK KEBENDAAN


1. Hak Perdata

Hak perdata adalah hak seseorang manusia yang diberikan oleh hukum perdata. Hak perdata ada yang bersifat relative dan ada yang bersifat absolut. Hak perdata yang bersifat absolute yang memberikan kekuasaan langsung dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Sedangkan hak yang bersifat relative memberikan kekuasaan terbatas dan hanya dapat dipertahankan terhadap lawan (pihak dalam hubungan hokum)
Hak perdata yang bersifat absolute meliputi ; hak kebendaan (zakelijkreck), diatur dalam buku II KUHPdt ; hak kepribadian (persoonlijkheidsrecht), yang terdiri dari hak diri sendiri, misalnya hak atas nama, hak atas kehormatan, hak untuk memiliki, hak untuk kawin; kemudian hak kepribadian yang lain adalah hak atas diri orang lain yang timbul dalam hukum keluarga, seperti suami, istri, antara rang tua dan anak, antara wali dan anak. Semua hak kepribadian diatur dalam buku I KUHPdt.
Hak perdata yang bersifat relative ialah hak yang timbul karena adanya hubungan hukum berdasarkan perjanjian atau berdasarkan ketentuan undang – undang. Hak perdata yang bersifat relatif karena hanya dapat dipertahankan terhadap pihak dalam hubungan hukum.

2. Hak Kebendaan

Hak kebendaan adalah hak yang melekat atas suatu benda. Hak benda biasa disebut hak kebendaan (zakelijkrecht). Hak kebendaan sendiri artinya hak yang memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
Setiap orang harus menghargai dan menghormati hak kebendaan seseorang. Orang yang berhak bebas menguasai bendanya. Hak kebendaan bersifat absolute (mutlak). Contohnya hak milik, hak memungut hasil, hak sewa, hak pakai, hak gadai, hak hipotik, hak cipta.
Hak kebendaan mempunyai cirri sebagai berikut ;

  • Mutlak, artinya dikuasai dengan bebas dan dipertahankan terhadap siapapun juga, misalnya hak milik, hak cipta ;
  • Mengikuti benda, diatas mana hak itu melekat, misalnya hak sewa, hak memungut hasil, mengikuti bendanya dalam tangan siapapun benda itu berada.
  • Yang terjadi lebih dahulu tingkatannya jauh lebih tinggi, misalnya diatas sebuah rumah melekat hak hipotik, kemudian melekat hak hipotik berikutnya, maka kedudukan hak hipotik yang pertama lebih tinggi dari hak hipotik yang kedua, dengan kata lain dalam penyelesaian hutang, hipotik pertama diselesaikan lebih dahulu, kemudian hipotik kedua;
  • Lebih diutamakan, misalnya hak hipotik atas rumah, jika pemilik rumah pailit, maka hipotik memperoleh prioritas penyelesaian tanpa memperhatikan pengaruh pailit itu;
  • Hak gugat dapat dilakukan terhadap siapapun yang menggangu benda tersebut;
  • Pemindahan hak kebendaan dapat dilakukan kepada siapapun juga.
  • Dengan berlakunya UUPA, maka penguasaan secara bebas atas hak kebendaan dapat dibatasi. Setiap orang mempunyai hak atas suatu benda tiak boleh semaunya saja menguasai benda tersebut. Penguasaan benda sesuai dengan kepentingan umum, hak milik mempunyai fungsi social. Penguasaan dan penggunaan hak kebendaan dibatasi oleh hak kepentingan orang lain.
3. Pembedaan Hak - Hak Kebendaan

Berlakunya UUPA mencabut beberapa ketentuan mengenai bumi air dan segala kekayaan yang terdapat didalamnya, kecuali hipotik, dengan demikian, hak – hak yang berkenaan dengan tanah yang sudah dicabut dari buku II KUHPdt itu adalah ; hak milik (eigendom), hak guna usaha (erfpacht), hak guna bangunan (opstal), hak pakai pekarangan (servituut), hak memungut hasil (vruchtgebruik), hak sewa bangunan (hak sewa tanah untuk bangunan), dan semua hak berkenaan dengan tanah lainnya, kecuali hipotik.
Hak – hak berkenaan dengan tanah ini sudah diatur dengan UUPA dan menjadi obyek hukum agrarian, kecuali mengenai hipotik.
Hak – hak kebendaan yang masih tersisa dalam buku II KUHPdt ialah hak – hak kebendaan yang bukan mengenai tanah, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan ditambah dengan hipotik. Hak – hak kebendaan tersebut dibedakan sebagai berikut ;

  1. Hak kebendaan yang bersifat member kenikmatan (zakelijkgenootsrecht), yang diperinci menjadi ;
  • Yang bersifat memberikan kenikmatan atas benda milik sendiri misalnya hak milik atas benda bergerak atau benda yang bukan tanah, hak penguasaan (bezit) atas benda bergerak.
  • Yang bersifat memberi kenikmatan atas benda milik orang lain, misalnya bezit atas benda bergerak atau benda yang bukan tanah, hak pakai dan hak mendiami atas benda bukan tanah, hak pakai atas benda bergerak.
2. Hak kebendaan yang bersifat member jaminan (zakelijkzekerheidsrecht), yang terdiri dari ;

  • Pand (gadai), sebagai jaminan adalah benda bergerak ;
  • Hipotik sebagai jaminan ialah benda tidak bergerak.
Hak jaminan ini timbul karena ada hubungan hutang piutang antara debitur dan kreditur. Hak jaminan ini (pand dan hipotik) termasuk dalam hak jaminan khusus, yaitu mengenai benda tertentu saja.


ASAS – ASAS HAK KEBENDAAN

Asas Hukum Pemaksa (dwingendrecht),

Asas ini mempunyai arti bahwa orang tidak boleh mengadakan hak kebendaan yang sudah diatur dalam undang – undang. Apa yang sudah ditentukan oleh undang – undang harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi.

Asas Dapat Dipindahtangankan

Semua hak kebendaan dapat dipindahtangankan, kecuali hak pakai dan mendiami. Yang berhak tidak boleh menentukan “hak itu tidak dapat dipindahtangankan”. Lain halnya dengan piutang, para pihak dapat menentukan bahwa “piutang tidak dapat dipindahtangankan”. Ini adalah ketentuan khusus dalam KUHD.

Asas Individualitas

Obyek hak kebendaan harus selalu benda tertentu atau dapat ditentukan secara individual, yang merupakam kesatuan, misalnya rumah kediaman Jl. Diponegoro, Gang. 14, No. 10, Denpasar, satu stel kursi tamu, mobil Minicab DK 2601 AA. Obyek hak kebendaan tidak boleh benda menurut jenis dan jumlah, misalnya 10 buah kendaraan bermotor, 100 ekor burung.

Asas Totalitas

Hak kebendaan selalu terletak diatas seluruh obyeknya sebagai satu kesatuan (pasal 500, 588, 606, dan sebagainya KUHPdt), misalnya hak jaminan piutang atas kendaraan bermotor mobil DK 2601 AA, sebagai satu kesatuan, termasuk ban serep, nunci, dongkrak, dan tape recorder dalam mobil.

Asas Tidak Dapat Dipisahkan

Orang yang berhak tidak boleh memindahtangankan sebagian dari kekuasaan yang termasuk suatu hak kebendaan yang ada padanya.

11 Agustus, 2010

SEJARAH HUKUM PERDATA

HUKUM PERDATA BELANDA



Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas konkordansi).



Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia [1924] & usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia [pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara]. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama :



1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda] – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt.

2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang] - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD.



Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.



HUKUM PERDATA INDONESIA



Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya ialah dibentuk B.W. Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem.



Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka KUHPdt. Belanda banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.



Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.


Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945


Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.



B.W./KUHPdt SEBAGAI HIMPUNAN TAK TERTULIS



B.W. di Hindia Belanda sebenarnya diperuntukkan bagi penduduk golongan Eropa & yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S jo 163 I.S. Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan bagi WNI keturunan Eropa & yang dipersamakan ini terus berlangsung. Keberlakuan demikian adalah formal berdasakan aturan peralihan UUD 1945. Bagi Negara Indonesia, berlakunya hukum perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang membedakan WNI berdasarkan keturunannya [diskriminasi]. Disamping itu materi yang diatur dalam B.W. sebagian ada yang tidak sesuai lagi dengan Pancasila dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia serta tidak sesuai dengan aspirasi negara dan bangsa merdeka. Berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi sebagai negara dan bangsa yang merdeka, maka dalam rangka penyesuaian hukum kolonial menuju hukum Indonesia merdeka, pada tahun 1962 [Dr. Sahardjo, SH.-Menteri Kehakiman RI pada saat itu] mengeluarkan gagasan yang menganggap B.W ( KUHPdt ) Indonesia sebagai himpunan hukum tak tertulis. Maka B.W. selanjutnya dipedomani oleh semua Warga Negara Indonesia. Ketentuanyg sesuai boleh diikuti dan yang tidak sesuai dapat ditinggalkan.



SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963



Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :

1) Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.

2) Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.

3) Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.

4) Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan

5) Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.

6) Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.

7) Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan



HUKUM PERDATA NASIONAL



Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku dan diberlakukan di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia meliputi juga hukum perdata barat dan hukum perdata nasional. Hukum perdata barat adalah hukum bekas peninggalan kolonia Belanda yang berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, mis. BW/KUHPdt. Hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan Pemerintah Indonesia yang sah dan berdaulat. Kriteria bahwa hukum perdata dikatakan nasional, yaitu :

a) Berasal dari hukum perdata Indonesia. Hukum perdata barat sebagian sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila. Hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila dapat dan bahkan telah diresepsi oleh bangsa Indonesia.Oleh karena itu ia dapat diambil alih dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Disamping Hukum perdata barat, juga hukum perdata tak tertulis yang sudah berkembang sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai yang dapat diikuti dan dipedomani oleh seluruh rakyat Indonesia. Dapat diambil dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Untuk mengetahui hal ini tentunya dilakuan penelitian lebih dahulu terutama melalui Yurisprudensi. Dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Jo. Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 tentang GBHN, terutama pembangunan di bidang hukum antara lain dinyatakan bahwa pembinaan hukum nasional didasarkan pada hukum yang hidup didalam masyarakat . Hukum yang hidup dalam masyarakat dapat diartikan antara lain hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila, hukum perdata tertulis buatan Hakim atau yurisprudensi dan hukum adat.

b) Berdasarkan Sistem Nilai Budaya Pancasila. Hukum perdata nasional harus didasarkan pada sistem nilai budaya Pancasila, maksudnya adalah konsepsi tentang nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota masyarakat. Apabila nilai yang dimaksud adalah nilai Pancasila maka sistem nilai budaya disebut sitem nilai budaya Pancasila. Sistem nilai budaya demkian kuat meresap dalam jiwa anggota masyarakat sehingga sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Sistem nilai budaya Pancasila berfungsi sebagai sumber dan pedoman tertinggi bagi peraturan hukum & perilaku anggota masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat diuji benarkah peraturan hukum perdata barat. Hukum perdata tidak tertulis, buatan hakim/yurisprudensi & peraturan hukum adat yang akan diambil sebagai bahan hukum perdata nasional bersumber, berpedoman, apakah sudah sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila? Jika jawabnya YA benarkah peraturan hukum perdata yang diuraikan tadi dijadikan hukum perdata nasional.

c) Produk Hukum Pembentukan Undang – Undang Indonesia. Hukum perdata nasional harus produk hukum pembuat Undang-Undang Indonesia. Menurut UUD 1945 pembuat Undang-Undang adalah Presiden bersama dengan DPR [pasal 5 ayat 1 UUD 1945]. Dalam GBHN-pun digariskan bahwa pembinaan & pembentukan hukum nasional diarahkan pada bentuk tertulis. Ini dapat diartikan bahwa pembentukan hukum perdata nasional perlu dituangkan dalam bentuk Undang-Undang bahkan diusahakan dalam bentuk kondifikasi. Jika dalam bentuk Undang-Undang maka hukum perdata nasional harus produk hukum pembentukan Undang-Undang Indonesia. Contoh Undang-Undang Perkawinan No.1/1974, Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960.

d) Berlaku Untuk Semua Warga Negara Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku untuk semua Warga Negara Indonesia, tanpa terkecuali dan tanpa memandang SARA. Warga Negara Indonesia adalah pendukung hak dan kewajiban yang secara keseluruhan membentuk satu bangsa merdeka yaitu Indonesia. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI berarti menciptakan unifikasi hukum sesuai dengan GBHN. Dan melenyapkan sifat diskriminatif sisa politik hukum kolonia Belanda. Unifikasi hukum tertulis yang ada sekarang sudah dikenal, diikuti dan berlaku umum dalam masyarakat.

e) Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia adalah wilayah negara RI termasuk perwakilan Indonesia di luar negeri. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI di seluruh wilayah Indonesia merupakan unifikasi hukum perdata sebagai pencerminan sistem nilai budaya Pancasila terutama nilai dalam sila ke tiga “ Persatuan Indonesia” Hal ini sesuai dengan GBHN mengenai pembinaan hukum nasional.